Jumat, 03 Juli 2009

There are No Clocks on the Walls in Las Vegas Casinos

“ Ayo cepetan”, ajak seorang rekan, sambil langkahnya beranjak dari meja receptionist, menuju pintu keluar. Kamipun menyejajarkan langkah menyusuri trotoar basah usai hujan, menuju masjid untuk tunaikan Ashar.

Kami bergegas. “ Ya nih aneh juga. Baru selesai adzan, langsung qomat. Kalau lambat dikit dah ditinggal nih kita“, kata rekan yang lain, sedikit menyindir entah siapa, namun dengan balutan gurauan yang kental.

“ Harusnya memang lima belas menit setelah adzan. Di masjid dekat orang tuaku, dua puluh menit setelah adzan baru qomat. Khan harus nunggu jamaah yang lain“

“ Ini mah jamaahnya belum kumpul dah mulai shalat. Gimana sih?“, bertanya, juga entah pada siapa.

Aku hanya senyum-senyum saja, sambil terus mempercepat langkah. Gerimis masih menitik membuat sore itu makin nyaman. Udara terasa lebih bersih. Paru-paru lebih santai kerjanya.

Yang terburu qomat dan memulai shalat pasti punya alasan sendiri. Akupun tak punya banyak ilmu tentang hal itu. Aku tak tahu mana yang lebih benar, mana yang lebih pas. Dalam posisi jamaah, mungkin sebagian orang ingin ditunggu, diberi waktu cukup untuk sampai di masjid, bisa shalat sunnah lalu shalat jamaah.

Namun, mungkin ada cara pandang yang lain dan cerita qomat yang dianggap terlalu cepat itu bisa dijadikan titik tolak.

Dari perspektif menyegerakan berbuat baik, alasan mempercepat qomat bisa sangat diterima. “Berbuat baik janganlah ditunda-tunda. Berbuat baik janganlah ditunda-tunda............“, begitu potongan lagu Bimbo bertahun lalu.

“ Kalau aku menunda amal baik hari ini untuk hari esok, lalu kapan aku melakukan amal baik esok hari “, begitu kira-kira tanya retoris jenaka Al-Ghazali dalam sebuah cerita bergambar yang aku baca.

Persoalan waktu, apa lagi dihubungkan dengan perkara menyegerakan amal baik, memang akan selalu menjadi cerita menarik. Waktu memang akan tetap menjadi isu sentral. Yang lalai memanfaatkan waktu akan merugi.


Demikian pentingnya konsepsi waktu, membuatku teringat kembali pada tulisan pendek dari satu mailing-list. “Did you know that in Las Vegas casinos, there are no clocks on the walls? Think about that. See, the casino owners understand one of the Three Sources of Power: time. They want you to lose track of your time so you'll spend it with them. How are you spending your time, Adjie?”

Menyegarkan tulisannya. Aku memang belum pernah ke luar negri, apa lagi masuk casino di Las Vegas. Jadi aku tak tahu pasti apa benar di sana sungguh tak ada jam di dinding area bermainnya. Ternyata pemilik casino di sana sangat memahami bahwa salah satu dari tiga sumber kekuatan adalah waktu. Tanpa jam di dinding, pemilik casino ingin kita menghabiskan waktu bersama mereka tanpa sadar. Habiskan waktu kita, sekaligus ludeskan uang kita.

Aku memang tak perlu pastikan benar tidaknya cerita di atas. Namun, kalaupun itu cerita khayalan, atau suatu saat ternyata pemilik casino akhirnya memasang jam dinding, tetap saja moral ceritanya tetap layak disimak.

Kalau waktu adalah salah satu sumber kekuatan, maka ketidak-mampuan mengelolanya akan membuat kita kehilangan sumber kekuatan itu. Kehilangan sumber kekuatan bisa berarti banyak hal, tergantung bagaimana kita melihat waktu dan kaitannya dengan hal lain.

Sang waktu memang bukan milik kita. Kita hanya bisa mengatur diri sendiri, memanfaatkan ruang tersisa di semesta waktu. Waktu juga bukan milikku. Sang Maha hanya menyediakan, lalu membiarkan kita memanfaatkannya. Jadi bagus juga ada yang mengingatkanku: “ How are you spending your time, Adjie?”

Kalau waktu teramat penting, dan sayangnya kita tidak bisa mengontrol waktu, maka ada baiknya kita ikuti syair Bimbo di atas.: “Berbuat baik janganlah ditunda-tunda. Berbuat baik janganlah ditunda-tunda.............“

Dalam kaitannya dengan adzan, qomat dan sholat jamaah, jangan-jangan kita justru sudah harus berterima kasih dan bersyukur karena masih ada yang mengingatkan kita untuk memanfaatkan waktu di jalan kebaikan, mengingatkan kita untuk sholat.

Jadi mengapa tidak justru kita yang ada di masjid terlebih dahulu, bahkan sebelum adzan dikumandangkan? Jadi mengapa justru bukan kita yang berada di tempat dan jalan kebaikan terlebih dahulu, tanpa harus pusing memikirkan apakah orang lain sudah ada yang memulai berbuat baik? Bukan pula justru mempersoalkan qomatnya yang kita anggap terlalu cepat.

Jadi, “ How are you spending your time, my friend?”. Think about it and move!


Mba_RahMa

Sumber : portaldjp
Tukang Cukur
Seperti biasanya, seorang laki-laki, sebut saja Steve, datang ke sebuah salon untuk memotong rambut dan jenggotnya. Ia pun memulai pembicaraan yang hangat dengan tukang cukur yang melayaninya. Berbagai macam topik pun akhirnya jadi pilihan, hingga akhirnya Tuhan jadi subyek pembicaraan.

"Hai Tuan, saya ini tidak percaya kalau Tuhan itu ada seperti yang anda katakan tadi," ujar si tukang cukur.
Mendengar ungkapan itu, Steve terkejut dan bertanya,
"Mengapa anda berkata demikian?".

"Mudah saja, anda tinggal menengok ke luar jendela itu dan sadarlah bahwa Tuhan itu memang tidak ada. Tolong jelaskan pada saya, jika Tuhan itu ada, mengapa banyak orang yang sakit? mengapa banyak anak yang terlantar?. Jika Tuhan itu ada, tentu tidak ada sakit dan penderitaan. Tuhan apa yang mengijinkan semua itu terjadi..." ungkapnya dengan nada yang tinggi.

Steve pun berpikir tentang apa yang baru saja dikatakan sang tukang cukur. Namun, ia sama sekali tidak memberi respon agar argumen tersebut tidak Lebih meluas lagi.

Ketika sang tukang cukur selesai melakukan pekerjaannya, Steve pun Berjalan keluar dari salon. Baru beberapa langkah, ia berpapasan dengan seorang laki-laki berambut panjang dan jenggotnya pun lebat. Sepertinya ia sudah lama tidak pergi ke tukang cukur dan itu membuatnya terlihat tidak rapi.

Steve kembali masuk ke dalam salon dan kemudian berkata pada sang tukang cukur, "Tukang cukur itu tidak ada!"...

Sang tukang cukur pun terkejut dengan perkataan Steve tersebut. "Bagaimana mungkin mereka tidak ada? Buktinya adalah saya. Saya ada di sini dan saya adalah seorang tukang cukur," sanggahnya.

Steve kembali berkata tegas, "Tidak, mereka tidak ada. kalau mereka ada, tidak mungkin ada orang yang berambut panjang dan berjenggot lebat seperti contohnya pria di luar itu."
"Ah, anda bisa saja...Tukang cukur itu selalu ada di mana-mana. Yang terjadi pada pria itu adalah bahwa dia tidak mau datang ke salon saya untuk dicukur," jawabnya tenang sambil tersenyum. "Tepat!" tegas Steve.
"Itulah poinnya. Tuhan itu ada. Yang terjadi pada umat manusia itu adalah karena mereka tidak mau datang mencari dan menemui-Nya. Itulah sebabnya mengapa tampak begitu banyak penderitaan di seluruh dunia ini...."

Kalau anda menyukai kisah ini, kirimkan pada yang lain. Kalau anda juga berpikir sama seperti sang tukang cukur, abaikan saja kisah ini.

Sumber : portaldjp
Malu yang Sebenarnya
Dalam perjalanan pulang menggunakan chikatetsu yang padat penumpang, tiba-tiba dari arah belakang terasa bahu saya ada yang mencolek. Semula tak saya gubris karena kemungkinan itu hanya sentuhan yang tidak disengaja antar desakan penumpang yang sama-sama sedang berdiri. Tapi ternyata colekan itu terasa berulang beberapa kali. Dengan rasa penasaran, saya palingkan wajah ke belakang dan tampaklah sosok yang belum saya kenal tersenyum ramah sambil berkata, "Maaf Sis... orang Malaysia atau Indonesia?"

Dengan sedikit berbisik, saya menjawab, "Orang Indonesia, Sis sendiri dari mana?"
"Wah, sama dong, seneng deh bisa ketemu temen sekampung di negeri orang," ujarnya melanjutkan sambil berusaha merapatkan diri di sebelah saya.

Dari sapaan singkat tersebut akhirnya kami saling berkenalan. Seperti seorang sahabat lama yang tak pernah bertemu, pembicaraan semakin lama semakin menghangat. Perjalanan panjang terasa berlalu cepat. Di tengah-tengah pembicaraan, sahabat baru saya tersebut kembali bertanya, "Sudah lama pake jilbab, Mbak?"

"Saya kepengen deh pake jilbab, tapi masih malu, abis tetangganya orang Jepang semua," katanya melanjutkan dengan wajah serius.

Belum sempat saya menjawab pertanyaan tersebut, chikatetsu telah sampai di stasiun tempat tujuannya. Saat pintu terbuka, dengan tergesa sahabat tersebut segera beranjak turun sambil tak lupa melambaikan tangan diiringi senyuman.

Setelah kereta kembali bergerak, "deg!" saat itu saya baru sadar, saya dan sahabat baru tersebut belum sempat saling bertukar cara untuk tetap bisa saling berhubungan. "Ah... ada perasaan sesal yang mengganjal."

Padahal ingin sekali saya katakan, bahwa tidak perlu malu dengan pakaian taqwa ini. Saya justru bersyukur dengan berpakaian menutupi aurat. Banyak sekali kebaikan-kebaikan yang saya rasakan. Di saat musim dingin seperti di Jepang saat ini, ia dapat menghangati seluruh tubuh dari kepala hingga kaki, di musim panas kibaran-kibaran kecilnya yang terkena angin dapat menyejukan seluruh tubuh. Mode-nya dapat dipakai all season, tak lekang oleh pergantian empat musim.

Ingin pula saya ceritakan, beberapa keuntungan-keuntungan lain yang saya peroleh dengan menggunakan hijab ini. Salah satunya adalah tetangga dan lingkungan tempat saya tinggal lebih mengenal saya dengan ciri khas berpakaian yang berbeda dari mereka.

Oh iya, pernah suatu hari sehabis pulang belanja dengan bawaan berat, tiba-tiba dari arah belakang, seorang ibu menggunakan sepeda menyapa saya, "Omoi desune.....(berat yah)"
"Kalau mau taruh saja bawaannya di sepeda ini," katanya melanjutkan.

Tentu saja saya terheran-heran karena merasa tidak mengenal ibu ini. Melihat keheranan saya, dengan spontan ibu tersebut menerangkan, bahwa ia adalah pemilik laundry tempat saya sering menitipkan cucian jas kerja suami. Ia mengenali saya dari cara berpakaian yang lain dari pada yang lain katanya.

Ada pula cerita lucu, suatu hari saat saya sedang asyik menunggu kereta, tiba-tiba seorang anak berusia sekitar lima tahun mendekati saya dan berkata, "Hantu... hantu!" sambil tersenyum menunjuk hijab yang saya kenakan.

Saya yang mendengar itu hanya bisa ikut tersenyum geli. Tapi tidak demikian dengan ibu dari sang anak tersebut. Mimik muka sang ibu terlihat kaget. Ia langsung mendekati saya dan berkata, "Maaf... maafkan anak saya... maaf," ujarnya penuh penyesalan sambil berkali-kali membungkukan badan.

Setelah meminta maaf, ibu muda tersebut mulai mengajak berbincang-bincang. Tak disangka dari kejadian seperti itu, akhirnya teman saya di Jepang ini bertambah lagi. Ibu muda tersebut dan anaknya menjadi salah satu teman baik saya hingga saat ini. Kami menjadi teman ngobrol di saat menunggu kereta tiba.

Sungguh sahabat, kita tak perlu memiliki malu yang berpatokan pada pandangan manusia. Itu hanyalah malu semu yang akan melahirkan sikap munafik. Tapi malulah hanya pada Allah. Karena Dialah yang Maha Melihat seluruh gerakan dan tingkah laku kita. Tidak ada tindakan yang luput dari pandangan-Nya. Semakin tinggi malu kita pada Allah semakin terjaga kita dari kesalahan. Inilah malu yang sebenarnya.

Seperti sabda Rasulullah SAW, ''Hendaklah kamu merasa malu kepada Allah SWT dengan malu yang sebenarnya.'' Para sahabat menjawab, ''Ya Nabiyullah, alhamdulillah kami sudah merasa malu.'' Kata Nabi, ''Tidak segampang itu. Yang dimaksud dengan malu kepada Allah SWT dengan sebenarnya malu adalah kemampuan kalian memelihara kepala beserta segala isinya, memelihara perut dan apa yang terkandung di dalamnya, banyak-banyak mengingat mati dan cobaan (Allah SWT). Siapa yang menginginkan akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Siapa yang telah mengamalkan demikian, maka demikianlah malu yang sebenarnya kepada Allah SWT.'' (HR Tirmidzi dan Abdullah bin Mas'ud).

Jika Allah mengizinkan, ingin sekali saya dapat bertemu kembali denganmu wahai sahabat. Akan saya ceritakan pengalaman-pengalaman di atas untukmu. Saya ingin meminta, "Jadikanlah saya salah seorang sahabatmu..." Sahabat yang dapat berjalan beriringan, saling membantu menepis malu semu yang kadang menyeruak dalam benak.

Percayalah sahabat, "Jika Allah menolong kamu, maka tak ada orang yang mengalahkanmu," begitu Allah SWT mengatakan dalam QS Ali Imran: 160.

Sumber : eramuslim.com

Sumber : portaldjp
KEARIFAN SEGENGGAM GARAM

Dahulu kala, hiduplah seorang lelaki tua yang terkenal saleh dan bijak. Di suatu pagi yang basah, dengan langkah lunglai dan rambut masai, datanglah seorang lelaki muda, yang tengah dirundung masalah. lelaki itu tampak seperti orang yang tak mengenal bahagia. Tanpa membuang waktu, dia ungkapkan semua resahnya: impiannya gagal, karier, cinta dan hidupnya tak pernah berakhir bahagia.

Pak Tua yang bijak, hanya mendengarkannya dengan teliti dan seksama. Ia lalumengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Dia taburkan garam itu ke dalam gelas, lalu dia aduk dengan sendok, tenang, bibirnya selalu tampilkan senyum.

"Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya?" pinta Pak tua itu.

"Asin dan pahit, pahit sekali", jawab sang tamu, sambil meludah ke tanah.

Pak Tua itu hanya tersenyum. Ia lalu mengajak tamunya ini berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan beriringan, tapi dalam kediaman. Dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu. Pak Tua itu, masih dengan mata yang memandang lelaki muda itu dengan cinta, lalu menaburkan segenggam garam tadi ke dalam telaga. Dengan sepotong kayu, diaduknya air telaga, yang membuat gelombang dan riak kecil.Setelah air telaga tenang, dia pun berkata,

"Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah".

Saat tamu itu selesai meneguk air telaga, Pak Tua berkata lagi, "Bagaimana
rasanya?"

"Segar," sahut tamunya.

"Apakah kamu masih merasakan garam di dalam air itu?" tanya Pak Tua lagi.

"Tidak," jawab si anak muda.

Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di tepi telaga.

"Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan seumpama segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama. Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah atau tempat yang kita miliki. Kepahitan itu anakku, selalu berasal dari bagaimana cara kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang boleh kamu lakukan: lapangkanlah dadamu untuk menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu. Luaskan wadah pergaulanmu supaya kamu mempunyai pandangan hidup yang luas. Kamu akan banyak belajar dari keleluasan itu."

Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasihat.

"Hatimu anakku, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan mengubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan."

Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar di hari itu. Dan Pak Tua, si orang bijak itu, kembali menyimpan "segenggam garam", untuk anak muda yang lain, yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa.

Sumber : portaldjp